Jakarta – Nama Herman Yoseph Fernandez mungkin belum setenar pahlawan-pahlawan nasional lainnya, tetapi kontribusinya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata. Lahir di Larantuka, Flores Timur, Herman tumbuh sebagai sosok yang dididik dengan nilai-nilai adat dan agama yang kuat. Kehidupan keluarga Fernandez, terutama ayahnya Markus Suban Fernandez dan ibunya Fransiska Theresia Pransa Carvallo Kolin, adalah cerminan dedikasi seorang guru. Di bawah asuhan keluarga ini, Herman mulai mengembangkan jiwa kepemimpinan dan keteguhan moral yang kelak membawanya pada jalan perjuangan.
Pendidikan awal Herman di Schakel School, Ndao, menanamkan kecintaan terhadap pengetahuan. Meski hidup di daerah terpencil, ia tidak pernah berhenti berambisi untuk keluar dari keterbatasan tersebut. Cita-citanya menjadi guru membawanya melanjutkan pendidikan ke Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) Muntilan, Jawa, yang kala itu dikenal sebagai institusi pendidikan bergengsi bagi calon pendidik pribumi. Di sini, Herman belajar bersama pemuda-pemuda dari seluruh Nusantara, termasuk Frans Seda yang kelak menjadi sahabat dan rekan seperjuangannya. Pertemanan di lingkungan HIK dan Xaverius College ini membentuk jaringan patriot yang akan memainkan peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Saat pendudukan Jepang di Indonesia, Herman bersama rekan-rekannya sempat dilatih sebagai bagian dari Seinendan dan Keibodan. Namun, keinginan Jepang untuk menguasai pemuda Indonesia tidak diterima begitu saja oleh Herman. Ia memilih menempuh jalan perjuangan yang lebih berbahaya tetapi bermakna, yaitu dengan menolak bekerja sama dengan Jepang dan memilih kabur. Keputusannya ini memperlihatkan karakternya yang tidak mau tunduk pada penindasan dan penjajahan.
Tahun 1943, Herman bersama Alex Rumambi dan banyak pemuda lainnya ditawari pekerjaan sebagai buruh tambang di Bayah, Banten Selatan. Tambang batu bara ini dikuasai Jepang dan menjadi tempat kerja paksa bagi puluhan ribu romusha. Kondisi di Bayah sangat keras, tetapi di situlah Herman bertemu dengan tokoh pergerakan nasional, Tan Malaka. Herman dan Alex, yang fasih berbahasa Belanda, sering berkomunikasi dengan Tan Malaka, yang dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan hak-hak para pekerja. Melalui kebijakan yang diperjuangkan Tan Malaka, Herman dan Alex bisa menerima upah penuh tanpa potongan, yang sebagian mereka kirim untuk membiayai teman-teman yang masih belajar di Yogyakarta, termasuk Frans Seda.
Peran Herman di Bayah tidak hanya sebagai buruh. Ia terlibat dalam gerakan perlawanan bawah tanah yang dipimpin Tan Malaka. Bersama para pemuda lainnya, mereka merencanakan strategi untuk melawan penjajah, sembari tetap bertahan hidup di tengah kondisi yang sulit. Bayah menjadi tempat di mana jiwa revolusioner Herman semakin terbentuk, mempertegas komitmennya untuk memperjuangkan kebebasan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Herman kembali ke Yogyakarta. Meski Indonesia telah merdeka, ancaman dari Belanda yang membonceng NICA membuat situasi tetap genting. Herman dan Alex Rumambi, bersama rekan-rekannya dari Larantuka, seperti Frans Seda, Silvester Fernandez, dan Dion Lamury, memutuskan untuk bergabung dalam perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan. Mereka tinggal di asrama di Jalan Djetis 20, Yogyakarta, yang menjadi pusat kegiatan revolusi pemuda-pemuda dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada masa itu, Herman bergabung dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan kemudian Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK), yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, seorang cendekiawan yang kelak juga diakui sebagai Pahlawan Nasional. GRISK memiliki sayap militan, Laskar Sunda Kecil atau Batalion Paradja, yang terdiri dari pemuda-pemuda NTT, termasuk Herman Fernandez, Yos Kodiowa, dan El Tari. Mereka bersumpah untuk tidak kembali ke bangku pendidikan sebelum kemerdekaan Indonesia benar-benar terjamin.
Keterlibatan Herman dalam revolusi fisik sangatlah besar. Sebagai bagian dari Tentara Pelajar, Herman berjuang dalam berbagai pertempuran mempertahankan Yogyakarta dari serangan Belanda. Salah satu momen heroik yang menonjol adalah ketika Herman, dalam upaya menyelamatkan sahabatnya Alex Rumambi, harus berhadapan dengan pasukan Belanda. Sayangnya, nyawa Herman terenggut dalam peristiwa tersebut. Pengorbanan ini menegaskan betapa besar dedikasinya terhadap bangsa dan negara.
Kini, patung peringatan Herman Yoseph Fernandez berdiri tegak di Taman Kota Larantuka. Patung ini bukan hanya monumen penghormatan, tetapi juga simbol perjuangan dan persahabatan di medan tempur. Keberanian, moralitas, dan integritas Herman selama masa perjuangannya menjadikannya layak untuk diberi gelar Pahlawan Nasional. Pengusulan resmi oleh Frans Seda, yang telah menulis naskah akademik tentang jasa-jasa Herman, diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk memberikan pengakuan resmi atas pengorbanannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada individu yang telah berjasa besar bagi bangsa dan negara. Dalam hal ini, Herman Yoseph Fernandez telah memenuhi kriteria tersebut melalui perjuangannya di masa revolusi, dedikasinya dalam mempertahankan kemerdekaan, serta pengorbanannya yang besar hingga titik darah penghabisan.
Herman Yoseph Fernandez bukan hanya pejuang bagi rakyat Flores atau NTT, melainkan seorang patriot Indonesia. Meski lahir dari keluarga sederhana, perjalanan hidupnya telah memberi inspirasi bagi generasi berikutnya. Sebagai anak seorang guru, ia mengabdikan hidupnya untuk pendidikan dan bangsa, serta memilih jalur perlawanan yang lebih besar ketika negaranya dipanggil. Herman adalah simbol dari semangat kebangsaan yang kuat, dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional adalah penghormatan yang layak untuk seorang pahlawan sejati yang tak pernah gentar menghadapi musuh demi tanah air tercinta.