Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof. Hikmahanto Juwana, menilai konflik antara Iran dan Israel tidak bisa dilepaskan dari peran dan manuver Amerika Serikat (AS), khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Menurutnya, konflik ini berakar dari kebijakan luar negeri AS yang agresif terhadap Iran, terutama terkait dugaan pengembangan senjata nuklir dan dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok seperti Hamas, Houthi, dan Hezbollah.
“Masalah perang antara Israel dengan Iran ini awalnya dimotori oleh Amerika Serikat. Bahkan sebelum Trump dilantik, dia sudah menyatakan akan menyelesaikan masalah Gaza dengan menyerang Iran, yang dianggap berada di balik berbagai kelompok militan,” ujar Hikmahanto saat dihubungi Hukumonline, Selasa (24/6).
Ia menjelaskan bahwa setelah menjabat, Trump mencoba membuka jalur diplomasi dengan Iran melalui mediasi Oman. Namun ketika perundingan nuklir menemui jalan buntu (deadlock), Trump mengancam akan menyerang Iran. Meski demikian, AS tidak memiliki dasar hukum internasional yang kuat untuk melakukan serangan langsung.
“Saya menduga, karena tidak punya landasan hukum, maka Israel yang diminta untuk menyerang Iran. Israel berdalih menggunakan Pasal 51 Piagam PBB, yaitu hak untuk membela diri,” jelasnya.
Namun, lanjut Hikmahanto, pembenaran ini didasarkan pada konsep anticipatory self-defense, yakni serangan terlebih dahulu atas dasar ancaman yang belum terjadi. Israel kemudian menargetkan tiga hal utama dalam serangannya, yakni fasilitas nuklir Iran, ilmuwan nuklir, dan petinggi Garda Revolusi Iran. Iran membalas serangan tersebut, dan balas-membalas pun terus terjadi.
Situasi memanas ketika Iran mulai menyerang tidak hanya Israel, tetapi juga pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar. Hal ini membuat Trump mengambil langkah mundur.