oleh

Presiden Donald Trump Telah Melancarkan Serangan Pada Tiga Lokasi Nuklir Di Iran

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, telah melancarkan serangan pada tiga lokasi nuklir di Iran, pada Sabtu malam (21/6) waktu setempat. Trump mengklaim serangan tersebut sangat sukses.

Meski begitu, kantor berita resmi Iran mengatakan penduduk setempat tidak merasakan tanda-tanda besar setelah serangan AS. Otoritas Nuklir Iran juga menambahkan tidak ada kemunculan bahan radioaktif di sekitar lokasi ledakan yang diklaim Washington.

Aksi militer AS terhadap fasilitas yang disebut sebagai lokasi nuklir Iran mencerminkan pembalikan sikap drastis terhadap puluhan tahun silam. Sebab keberadaan nuklir di Iran tak terlepas dari peran Paman Sam juga yang mendanai proyek senjata pemusnah massal di Negeri Para Mullah pada dekade 1950-an.

Bukti AS-Iran Pernah Mesra

Dukungan finansial dan teknis AS terhadap program nuklir Iran berakar dari kebijakan utama yang dicetuskan Presiden AS Dwight D. Eisenhower pada 8 Desember 1953, yakni “Atom for Peace”.

Sesuai namanya, AS akan mendorong beberapa negara dunia memanfaatkan nuklir untuk tujuan perdamaian, seperti ekonomi dan energi alternatif. Salah satu negara yang diajak kerjasama adalah Iran yang masih sekuler dan dipimpin Mohammad Reza Pahlevi (1941-1979), sebelum adanya Revolusi Iran.

Baca Juga  Bill Gates Memberikan Dana Hibah Sebesar US$159 Juta Atau Sekitar Rp2,6 Triliun Ke Indonesia.

Kesepakatan kerjasama nuklir antara AS dan pun resmi terjalin pada tahun 1957.

Analis Sabrina Sergi dalam riset “The US-Iran Relations and the Shah’s Nuclear Program (1957-1978)” (2017, hlm. 145) menyebut, dukungan AS terhadap program nuklir Iran bukan semata untuk memperkuat kerja sama militer, tetapi juga sebagai upaya mengendalikan arah politik Iran.

Bagi AS, mengontrol politik Iran berarti mengamankan kepentingan energi. Sebab, Iran kala itu adalah eksportir minyak utama dunia.

Sementara analis senior International Crisis Group, Ali Vaez, kepada NPR menyebut kerjasama tersebut bertujuan agar AS bisa mengawasi Iran, khususnya di sektor nuklir, agar tidak mengembangkan senjata pemusnah massal.

Sejak saat itu, AS menerima para sarjana terbaik Iran belajar langsung di kampus-kampus ternama. Lalu, AS juga rutin mengirimkan bahan baku nuklir, uranium, ke Iran dengan total fantastis.

Baca Juga  Presiden Prabowo Subianto Bertemu Presiden Joe Biden di Gedung Putih

“AS memasok 5.545 Kg uranium yang 5.165 di antaranya mengandung isotop fisil ke Iran untuk bahan bakar reaktor riset. AS juga memasok 112 Kg plutonium yang 104 Kg di antaranya digunakan sebagai sumber awal reaktor riset,” tulis Oxford Research Group.

Semua itu akhirnya membuahkan hasil pada 1967 dengan dibukanya reaktor nuklir riset pertama di Iran, yakni Tehran Research Reactor (TRR).

Setelahnya, Iran makin leluasa membuat nuklir. Tak hanya AS, Negeri Para Mullah juga mulai menjajaki kerjasama dengan Prancis, Jerman Barat, dan China. Pada titik ini, tujuan AS tercapai. Paman Sam mendapat keuntungan, terutama dari sisi geopolitik.

“Washington berhasil menjadikan Iran sebagai salah satu dari tiga pilar, di samping Arab Saudi dan Israel yang dapat menopang struktur dominasi geopolitik AS di Timur Tengah,” ungkap Amin Saikal dalam buku Iran Rising: The Survival and Future of the Islamic Revolution (2019, hlm. 39)

Namun, kepercayaan Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran mulai menurun pada tahun 1975. Pentagon mencurigai bahwa Iran sedang berupaya mengembangkan senjata nuklir, terutama setelah terlihat adanya peningkatan kerja sama teknologi dengan Prancis dan Jerman Timur.

Baca Juga  Utusan AS: Hamas Salah Mengartikan Pembebasan Sandera

Meski demikian, kecurigaan tersebut tidak langsung menghentikan kerja sama nuklir antara AS dan Iran. Hubungan itu baru benar-benar terputus pada 1979, ketika Revolusi Iran berhasil menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi, pemimpin yang dianggap sebagai ‘boneka’ Amerika Serikat.

Setelah revolusi, Iran resmi berubah menjadi Republik Islam Iran. Perubahan rezim ini turut menghentikan pengembangan program nuklir seiring dengan pemutusan hubungan diplomatik antara Teheran dan Washington.

Sejak saat itu, AS terus melontarkan tuduhan bahwa Iran sedang mengembangkan senjata pemusnah massal. Namun, tuduhan ini selalu dibantah oleh elite Iran. Akhirnya, ketegangan antara kedua negara pun tak terelakkan dan terus berlanjut hingga kini.

Menariknya, sejumlah fasilitas nuklir yang dulu dibangun dengan dukungan dana dan teknologi dari AS masih bertahan hingga kini. Fasilitas inilah yang kemudian menjadi landasan bagi Iran untuk melanjutkan pengembangan program nuklirnya.

News Feed