Site icon www.polten.co.id

Keputusan Mendagri Pemindahan 4 Pulau Aceh Ke Sumut

Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memindahkan empat pulau di Aceh Singkil (Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Panjang, dan Lipan) ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, bukan hanya menuai protes wajar masyarakat Aceh, tetapi juga merupakan kebijakan yang cacat secara faktual, historis, dan administratif. Keputusan ini berisiko memicu konflik horizontal dan mengabaikan prinsip keadilan serta pengakuan terhadap sejarah pengelolaan wilayah.

1. Kontradiksi Nyata antara Dokumen Administratif dan Fakta Lapangan

Keputusan Mendagri bertabrakan secara frontal dengan realitas di lapangan:

2.  Dokumen Historis dan Hukum yang Menguatkan Posisi Aceh

3. Potensi Konflik dan Pengabaian Aspek Sosial-Budaya

Keputusan ini mengabaikan dimensi sosial budaya yang sangat kental:

4. Potensi Strategis yang Diabaikan Proses Partisipatif

Keempat pulau memiliki nilai ekonomi strategis (perikanan tangkap/budidaya, ekowisata bahari, potensi logistik/energi). Pemindahan ini:

5. Kelemahan Prosedur: Batas Laut Belum Final

Dasar utama sengketa ini adalah ketiadaan penetapan batas wilayah laut final antara Aceh dan Sumut oleh Pemerintah Pusat. Mengeluarkan keputusan administratif pemindahan pulau sebelum batas laut jelas adalah tindakan prematur dan kontra-produktif. Ini seperti membangun rumah di atas fondasi yang retak.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Keputusan Mendagri 2025 tentang keempat pulau Aceh Singkil adalah kebijakan yang gegabah, tidak berdasar, dan berpotensi konflik. Keputusan ini:

1. Mengabaikan fakta pengelolaan nyata (effective occupation) oleh Aceh.
2. Menafikan bukti historis dan dokumen hukum resmi (SK Agraria 1965, Peta 1978).
3. Berisiko memicu konflik sosial dan merusak harmoni antarprovinsi.
4. Diambil tanpa proses konsultasi yang memadai dengan pihak Aceh.
5. Dasar hukumnya lemah karena batas laut Aceh-Sumut belum ditetapkan final.

Solusi yang Adil dan Bermartabat:

Mengembalikan keempat pulau ke pangkuan Aceh bukan sekadar memenuhi tuntutan emosional, tetapi merupakan pengakuan atas kebenaran fakta, keadilan sejarah, dan prinsip hukum pengelolaan wilayah yang sah. Kebijakan yang baik harus lahir dari data akurat dan proses inklusif, bukan dari keputusan sepihak yang mengabaikan realitas di lapangan.

Exit mobile version