Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka peluang untuk mengusut potensi adanya pelanggaran dari aktivitas penambangan di daerah di luar Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (10/6), mengatakan bahwa Kejaksaan akan mengusut jika ada laporan pengaduan terkait polemik ini.
“(Laporan) disampaikan ke aparat penegak hukum, mana saja, supaya ada bahan, ada dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penelitian, pengecekan sebenarnya apa yang terjadi di sana,” katanya seperti dilansir Antara.
Adapun hingga saat ini, kata dia, belum ada laporan pengaduan ke Kejagung terkait potensi pelanggaran di Raja Ampat.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menyebut kementeriannya bakal mengusut potensi pelanggaran dari aktivitas penambangan di daerah di luar Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Hanif mengatakan bahwa kementeriannya akan mulai bergerak sekitar pekan ini, tetapi dia belum dapat menyebutkan tanggal pastinya.
Adapun pemerintah pada telah mengumumkan mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) yang dikantongi empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Empat perusahaan itu mencakup PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Melia Raymond Perkasa, dan PT Kawai Sejahtera.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan empat IUP itu dicabut karena beberapa lahannya berada di kawasan lindung Geopark Raja Ampat.
“Secara teknis juga kami lihat, sebagian masuk kawasan Geopark,” kata Bahlil menjelaskan alasan pencabutan IUP saat jumpa pers.
Kawasan Geopark di Raja Ampat merupakan area konservasi yang dilindungi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Kawasan Geopark di Raja Ampat mencakup empat pulau utama di Kabupaten Raja Ampat, yaitu Pulau Waigeo, di bagian utara (termasuk Kepulauan Wayag yang berada di kawasan paling utara), Pulau Batanta, Pulau Salawati di bagian tengah, dan Pulau Misool di bagian selatan.
Kawasan Geopark juga mencakup perairan di antara pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Sebelumnya, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan meminta Pemerintah menghentikan segala bentuk aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Legal Analyst Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bayu Yusya mengatakan aktivitas pertambangan yang berlangsung di Raja Ampat adalah bentuk nyata pertambangan di pulau kecil, yang secara tegas dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Selain melanggar hukum, aktivitas ini juga tergolong sebagai abnormally dangerous activity yang membahayakan lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Dia menyoroti sejumlah kegiatan pertambangan di Raja Ampat khususnya di pulau-pulau kecil yang secara tegas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K).
“Pasal 17 dan Pasal 35 UU tersebut melarang pemanfaatan pulau kecil untuk aktivitas pertambangan karena dapat merusak ekosistem, mengganggu kehidupan masyarakat pesisir, dan menimbulkan degradasi lingkungan yang parah,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (9/6).
Menurutnya, larangan tersebut juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang menegaskan bahwa kegiatan pertambangan di wilayah pulau kecil dan pesisir bertentangan dengan prinsip perlindungan ekosistem serta hak konstitusional masyarakat. “Pemberian IUP pada pulau kecil tidak hanya cacat secara hukum, tapi juga bertentangan dengan semangat pelestarian lingkungan dan keadilan ekologis,” katanya.
Dia menilai lokasi pertambangan di Raja Ampat berada dalam kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi dan bebas dari aktivitas industri ekstraktif. Kegiatan tambang tersebut tergolong sebagai abnormally dangerous activity, yaitu aktivitas yang dalam hukum lingkungan dinilai berisiko tinggi, membahayakan keselamatan umum, dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang luas dan tak terpulihkan.
“Dalam doktrin hukum lingkungan, aktivitas semacam ini seharusnya dilarang dan dihentikan. Risiko ekologis dan sosial yang ditimbulkan sangat besar dan tidak sebanding dengan nilai ekonominya,” ucapnya.
Bayu juga menekankan bahwa aktivitas pertambangan ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam Resolusi PBB A/RES/76/300 dan Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
“Raja Ampat bukan hanya aset bangsa, tapi juga warisan ekologi dunia. Merusaknya adalah bentuk kekerasan terhadap hak hidup manusia dan generasi masa depan,” tuturnya.
Dia meminta agar pemerintah untuk mencabut seluruh izin usaha pertambangan (IUP) yang melanggar hukum di Raja Ampat an menghentikan segala bentuk aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Selain itu, juga melakukan reformasi tata kelola perizinan tambang agar berlandaskan prinsip keberlanjutan, partisipasi masyarakat, dan keadilan ekologis.